kali ini saya akan memberi sedikit wawasan tentang suku dari keluarga saya yaitu suku BATAK❤❤
Hope u like it ✌
Suku Batak
Toba
Karo
Simalungun
Pakpak-Dairi
Angkola-Mandailing
Tokoh-tokoh dari suku Batak
Amir Sjarifoeddin, Abdul Haris Nasution, Burhanuddin
Harahap, Adnan Buyung Nasution, TB Simatupang, Sitor Situmorang
(dari kiri ke kanan)
Jumlah populasi
8.466.969 [1]
Kawasan dengan konsentrasi signifikan
Sumatera Utara
5.785.716
Riau
691.399
Jawa Barat
467.438
Jakarta
326.645
Sumatera Barat
222.549
Kepulauan Riau
208.678
Aceh
147.259
Banten
139.259
Jambi
106.249
Bahasa
Angkola
Mandailing
Pakpak
Simalungun
Toba
Karo
Agama
Kristen (Protestan & Katolik) 75.63%
Islam 24.17% [2]
Parmalim
Animisme
Kelompok etnik terdekat
Suku Alas
Suku Nias
Suku Melayu
Suku Minangkabau
Suku Bugis
Suku Toraja
Suku Rimba
Suku Gayo
Suku Singkil
Suku Aceh
Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa terbesar di
Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan
beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Pantai Barat dan Pantai
Timur di Provinsi Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak
adalah Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola,
dan Batak Mandailing.
Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Islam,
Kristen Protestan, Kristen Katolik. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan
tadisional yakni: tradisi Malim dan juga menganut kepercayaan animisme,
walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
Daftar isi
1Sejarah
2Identitas Batak
3Penyebaran agama
3.1Masuknya Islam
3.2Misionaris Kristen
3.3Gereja HKBP
3.4Gereja Katolik di Tanah Batak
4Kepercayaan
5Salam Khas Batak
6Kekerabatan
7Falsafah dan sistem kemasyarakatan
7.1Ritual kanibalisme
8Tarombo
9Kontroversi
10Lihat pula
Sejarah
Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak
diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan
Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang
berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan
Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu pada zaman batu muda
(Neolitikum).[3]Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu
Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak
baru bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman logam.
Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India
mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang
kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari
tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di
samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini
menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera[4]. Pada
masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh
pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera
Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal[5].
Identitas Batak
Identitas Batak populer dalam sejarah Indonesia modern
setelah di dirikan dan tergabungnya para pemuda dari Angkola, Mandailing, Karo,
Toba, Simalungun, Pakpak di organisasi yang di namakan Jong Batak tahun 1926,
tanpa membedakan Agama dalam satu kesepahaman : Bahasa Batak kita begitu kaya
akan Puisi, Pepatah dan Pribahasa yang mengandung satu dunia kebijaksanaan
tersendiri, Bahasanya sama dari Utara ke Selatan, tapi terbagi jelas dalam
berbagai dialek. Kita memiliki budaya sendiri, Aksara sendiri, Seni Bangunan
yang tinggi mutunya yang sepanjang masa tetap membuktikan bahwa kita mempunyai
nenek moyang yang perkasa, Sistem marga yang berlaku bagi semua kelompok
penduduk negeri kita menunjukkan adanya tata negara yang bijak, kita berhak
mendirikan sebuah persatuan Batak yang khas, yang dapat membela kepentingan
kita dan melindungi budaya kuno itu [6]
R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di
Sumatra bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang
koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya
terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar
kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan
sosial dan politik yang lebih besar.[7] Pendapat lain mengemukakan, bahwa
munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada
zaman kolonial.[8] Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah
"Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak
asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak
Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun
Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat
terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai
macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau
Toba, adalah tempat "kelahiran" bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos
tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai
macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari
wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh
J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat,
yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah
asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan
juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya
nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang
menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan
pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.[9]
Kabupaten-kabupaten di Sumatera Utara yang diwarnai,
memiliki mayoritas penduduk Batak.
Masuknya Islam
Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan
bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang "liar" dan tidak pernah
terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi
Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir,
masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang
Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang
melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan
pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak.[10] Pada masa Perang Paderi di
awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan
pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola.[11] Kerajaan
Aceh di utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo dan
Pakpak. Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari masyarakat
Melayu di pesisir Sumatera Timur
Misionaris Kristen
Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asal Inggris,
Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman
Batak.[12] Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di dataran tinggi
Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari penjelajahan ini,
mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat
Batak. Pada tahun 1834, kegiatan ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Munson
dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Luar Negeri.[13]
Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman
Neubronner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak
- Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen
Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi
sasaran pengkristenan mereka.[14].
Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar
Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun
1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama
kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan
penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun
1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun
1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan
terdengar aneh dalam bahasa Batak.[15]
Selanjutnya Misi Katolik di Tanah Batak terhitung sejak
Pastor Misionaris pertama yakni Pastor Sybrandus van Rossum, OFM.Cap masuk ke
jantung Tanah Batak, yakni Balige tanggal 5 Desember 1934.
Masyarakat Toba dan sebagian Karo menyerap agama Kristen
dengan cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai
identitas budaya[16]. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme
Hindia Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi
dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh
orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik
mereka, Sisingamangaraja XII wafat.[17]
Gereja HKBP
Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri
di Balige pada bulan September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah
perawat memberikan pelatihan perawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada
tahun 1941, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan.[18]
Gereja Katolik di Tanah Batak
Misi Katolik masuk ke Tanah Batak setelah Zending
Protestan berada di sana selama 73 tahun. Daerah-daerah yang padat penduduknya
serta daerah-daerah yang subur sudah menjadi “milik” Protestan. Menurut
Sybrandus van Rossum dalam tulisannya berjudul “Matahari Terbit di Balige”
bahwa pada tahun 1935 orang Batak yang sudah dibaptis di Protestan mencapai
lebih kurang 450.000 orang. Lembaga pendidikan dan kesehatan sudah berada di
tangan Zending. Zending juga sudah mempunyai kader-kader yang tangguh baik
dalam masyarakat maupun dalam pemerintahan. Dalam situasi seperti itulah Misi
Katolik masuk ke Tanah Batak.
Kepercayaan
Sebuah kalender Batak yang terbuat dari tulang, dari abad
ke-20. Dimiliki oleh Museum Anak di Indianapolis.
Sebelum suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan,
mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi na Bolon yang
memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam
Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga
konsep, yaitu:
Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan
kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat
sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang,
maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap
(menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki
seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki
sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja
atau hula-hula.
Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya
sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang
terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan
tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang
sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.[14]
Salam Khas Batak
Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing.
Meskipun suku Batak terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua salam
lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas
sendiri masih memiliki penyebutan masing masing berdasarkan puak yang
menggunakannya
1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do
Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma
Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”
Kekerabatan
Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang
dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni
berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara
kekerabatan teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan
(genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua
suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis
terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena
perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan
sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya
adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak
sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat
berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba
yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan
suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga,
karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari
adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan
dalam pelaksanaan Adat.
Rumah Adat Batak Toba
Falsafah dan sistem kemasyarakatan
Masyarakat Batak memiliki falsafah, asas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut keenam puak Batak
1. Dalihan Na Tolu (Toba) • Somba Marhula-hula • Manat Mardongan Tubu • Elek Marboru
2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) • Hormat Marmora • Manat Markahanggi • Elek Maranak Boru
3. Tolu Sahundulan (Simalungun) • Martondong Ningon Hormat, Sombah • Marsanina Ningon Pakkei, Manat • Marboru Ningon Elek, Pakkei
4. Rakut Sitelu (Karo) • Nembah Man Kalimbubu • Mehamat Man Sembuyak • Nami-nami Man Anak Beru
5. Daliken Sitelu (Pakpak) • Sembah Merkula-kula • Manat Merdengan Tubuh • Elek Marberru
Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu dan Raja ni Boru.
Ritual kanibalisme
Pejuang Batak
Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang bertujuan untuk memperkuat tondi pemakan itu. Secara khusus, darah, jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.
Dalam memoir Marco polo yang sempat datang berekspedisi dipesisir timur Sumatera dari bulan April sampai September 1292, ia menyebutkan bahwa ia berjumpa dengan orang yang menceritakan akan adanya masyarakyat pedalaman yang disebut sebagai "pemakan manusia".[19] Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat "Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, namun dia bisa menceritakan ritual tersebut.
Niccolò Da Conti (1395-1469), seorang Venesia yang
menghabiskan sebagian besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya
untuk misi perdagangan di Asia Tenggara (1414-1439), mencatat kehidupan
masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak:
"Dalam bagian pulau, disebut Batech kanibal hidup berperang terus-menerus
kepada tetangga mereka ".[20][21]
Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan
ritual mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis
secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan.[22] Raffles menyatakan
bahwa: "Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka
ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan
dimakan hidup-hidup".. "daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan
kapur, garam dan sedikit nasi".[23]
Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm
Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan
tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang ia sebut
"Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan
berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang ramah. Makanan yang ditawarkan
oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari
sebelumnya.[24] Namun hal ini terkadang dibesar-besarkan dengan maksud
menakut-nakuti orang/pihak yang bermaksud menjajah dan/atau sesekali agar mendapatkan
pekerjaan yang dibayar baik sebagai tukang pundak bagi pedagang maupun sebagai
tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang diganggu oleh bajak laut.[25]
Oscar von Kessel mengunjungi Silindung pada tahun
1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual
kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya,
terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel
menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan
berdasarkan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit
yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah,
dan jeruk nipis harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka
menerima putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam.[26]
Ida Pfeiffer mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852,
dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa:
"Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi
darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat
menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; telinga,
hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas
sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging kepala, jantung, serta
hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya dipanggang serta
dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil bagian
dalam makan malam publik besar ".[27]
Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang
kanibalisme di wilayah kendali mereka.[28] Rumor kanibalisme Batak bertahan
hingga awal abad ke-20, dan nampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah
jarang dilakukan sejak tahun 1816. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh agama
pendatang dalam masyarakat Batak.[29]
Tarombo
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat
penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan
dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak diwajibkan
mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan
teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak
kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga. Contohnya SAMPAGUL.
Singkatan dari Samosir, Pakpahan, Harianja, Sitinjak, dan Gultom.
Kontroversi
Sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing sempat tidak
menyebut dirinya sebagai bagian dari suku Batak. Meski mayoritas masih mengakui
dirinya bagian dari suku Batak, wacana identitas itu sempat muncul disebabkan
karena pada umumnya kategori "Batak" dipandang primitif dan miskin
oleh etnik lain masa Orde Baru. Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan
sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak. Di pesisir timur
laut Sumatera, khususnya di Kota Medan, perpecahan ini sangat terasa. Terutama
dalam hal pemilihan pemimpin politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi.
Sumber lainnya menyatakan kata Batak ini berasal dari rencana Gubernur Jenderal
Raffles yang membuat etnik Kristen yang berada antara Kesultanan Aceh dan
Kerajaan Islam Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman, yang dinamakan Batak.
Generalisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing (Angkola) dan Karo, umumnya
tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu. Demikian juga di Angkola,
yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal dari wilayah sekitar Danau
Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari pembuatan afdeeling Bataklanden oleh
pemerintah Hindia Belanda, yang melarang penduduk muslim bermukim di wilayah
tersebut.
Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat
bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan
Mandailing. Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk
Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan
menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan
sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin
disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam
Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922),[30]
dan Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009).
Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah
mengklasifikasikan Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola
sebagai etnis Batak.[31]
sumber :https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak
SALAM ORANG BATAK ❤❤ HORASS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar